Kamis, 09 November 2017

"Nglawang" bikin "Liang"



Salah satu hiburan yang dinantikan anak-anak saat Hari Raya Galungan dan Kuningan adalah barong yang nglawang (keliling). Kini yang banyak nglawang adalah seka barong anak-anak. Dalam sehari, bisa ada tiga seka barong yang datang.

“Dari sore sampe petang, sudah ada tiga barong yang datang ke rumah. Mereka saya foto dan videokan untuk diunggah ke medsos biar teman-teman lain juga bisa nonton barong nglawang,” ujar Ata. Seka barong anak-anak ini berasal dari Banjar Samu, Banjar Lambing, dan Banjar Tingas yang berada di wilayah Desa Mekar Bhuana, Abiansemal, Badung.

Wah Gilang, salah satu anggota seka barong menuturkan ia dan teman-temannya nglawang untuk membuat masyarakat liang (gembira). “Kami keliling di seputaran desa saja. Menghibur masyarakat. Anggota seka giliran menari dan menabuh. Semua multitalenta,” ungkapnya.

Uang yang dihasilkan dari nglawang ini dikumpulkan lalu dibagi untuk pemilik barong dan untuk anak-anak yang jadi anggota seka. “Bagi anak-anak, bukan uang yang mereka kejar. Yang penting mereka bisa menyalurkan bakat seni dan menghibur masyarakat. Keberanian mereka untuk tampil di depan umum juga perlu mendapat apresiasi,” kata Ngurah Wijaya, ayah Wah Gilang.

Anak-anak nglawang
Menurut Kadek Suartaya nglawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya nglawang adalah sebuah ritus sakral magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat. Benda-benda keramat seperti barong dan rangda misalnya diusung ke luar Pura berkeliling di lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat. Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu dan disongsong dengan takzim oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu- bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah.

“Tradisi nglawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala itu juga bermakna sama pada pentas nglawang Galungan. Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tak hanya nglawang mengusung benda-benda sakral namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai nglawang tontonan. Dalam tradisi nglawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni balih-balihan seperti arja, janger, atau joged misalnya juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas nglawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif dan apresiatif,” ujar dosen ISI Denpasar yang juga pengamat seni ini.


Sebagai seni tontonan, nglawang adalah suguhan seni pentas yang serius tapi juga santai. Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam bebas. Hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas ini tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu. (Ngurah Budi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar