Salah satu hiburan yang dinantikan anak-anak saat
Hari Raya Galungan dan Kuningan adalah barong yang nglawang (keliling). Kini yang banyak nglawang adalah seka barong anak-anak. Dalam sehari, bisa ada tiga
seka barong yang datang.
“Dari sore sampe petang, sudah ada tiga barong yang
datang ke rumah. Mereka saya foto dan videokan untuk diunggah ke medsos biar
teman-teman lain juga bisa nonton barong nglawang,”
ujar Ata. Seka barong anak-anak ini berasal dari Banjar Samu, Banjar Lambing,
dan Banjar Tingas yang berada di wilayah Desa Mekar Bhuana, Abiansemal, Badung.
Wah Gilang, salah satu anggota seka barong
menuturkan ia dan teman-temannya nglawang
untuk membuat masyarakat liang
(gembira). “Kami keliling di seputaran desa saja. Menghibur masyarakat. Anggota
seka giliran menari dan menabuh. Semua multitalenta,” ungkapnya.
Uang yang dihasilkan dari nglawang ini dikumpulkan lalu dibagi untuk pemilik barong dan untuk
anak-anak yang jadi anggota seka. “Bagi anak-anak, bukan uang yang mereka
kejar. Yang penting mereka bisa menyalurkan bakat seni dan menghibur
masyarakat. Keberanian mereka untuk tampil di depan umum juga perlu mendapat
apresiasi,” kata Ngurah Wijaya, ayah Wah Gilang.
Anak-anak nglawang |
Menurut Kadek Suartaya nglawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya nglawang adalah sebuah ritus sakral
magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat. Benda-benda keramat seperti
barong dan rangda misalnya diusung ke luar Pura berkeliling di lingkungan
banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada
seluruh masyarakat. Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu dan
disongsong dengan takzim oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-
bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya
obat mujarab atau jimat bertuah.
“Tradisi nglawang
dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala itu juga bermakna
sama pada pentas nglawang Galungan.
Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tak hanya nglawang mengusung benda-benda sakral
namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai nglawang tontonan. Dalam tradisi nglawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni balih-balihan
seperti arja, janger, atau joged misalnya juga dapat disaksikan masyarakat
sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas nglawang menjadi wahana berkesenian yang
konstruktif dan apresiatif,” ujar dosen ISI Denpasar yang juga pengamat seni
ini.
Sebagai seni tontonan, nglawang adalah suguhan seni pentas yang serius tapi juga santai.
Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok,
berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam
bebas. Hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan
menyatu. Kehadiran seni pentas ini tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu.
(Ngurah Budi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar