Bekerja sambil liburan atau liburan sambil bekerja bagi
wartawan sama saja. Ini sering saya lakukan agar pikiran tidak terlalu
terbebani. Saat bekerja, saya berusaha membuat suasana nyaman seakan sedang
liburan. Sebaliknya, saat liburan saya memanfaatkannya sambil bekerja. Objek
liburan kerap menjadi bahan tulisan saya.
Akhir September 2017, saya bersama Diah Dewi (istri) dan Ata
(anak) “liburan” ke Solo. Bagi beberapa teman, ada yang aneh dengan liburan
saya. Mengapa pilih Solo, bukannya Jogja. Ada pula yang meledek dengan
mengatakan saya jadi tim pemantau persiapan Jokowi Mantu. Biarlah mereka
berasumsi agar hasrat berpendapatnya terlampiaskan wkwkwkkw….
Dalam kabin AirAsia |
Solo kami pilih karena pertimbangan ekonomis. Tiket pesawat
AirAsia Denpasar-Solo lebih murah dibanding Denpasar-Jogja. Selisihnya sekitar
Rp 400 ribuan. Lumayanlah bisa hemat. Penginapan pun sudah kami pesan jauh hari
sebelumnya dengan cara menghubungi teman yang bekerja di hotel. Kami pun diberi
kamar free dengan kompensasi membuat review hotel.
Penerbangan kami dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar menuju
bandara Adi Soemarmo, Boyolali, 26 September 2017 sempat tertunda karena saat
yang sama Presiden Jokowi terbang menuju Singaraja dengan helikopter kepresidenan.
Semua penerbangan komersil ditunda.
Tiba di bandara Adi Soemarmo, kami dijemput mobil Hotel
Aston Solo. Ternyata bandara ini berada di wilayah Boyolali namun dekat dari
Solo. Keluar dari bandara, sudah masuk wilayah Karanganyar, setelah itu baru Surakarta. Nama Surakarta
dipakai sebagai nama resmi urusan kepemerintahan, sedangkan nama Solo sebagai
nama yang lumrah di kalangan masyarakat. Jadi ada wilayah segitiga (Boyolali,
Karanganyar, dan Surakarta)yang kami lalui dari bandara menuju hotel.
Aston Hotel Solo berada di tengah kota. Posisinya berhadapan
dengan Omah Lowo (rumah kelelawar), salah satu objek wisata di kota Solo. Kami
menyempatkan diri bertemu Mbak Nia, Corpcom Hotel Aston yang sudah
memfasilitasi kami sekaligus menyampikan terima kasih. Setelah istirahat
sebentar, saya mencari petunjuk lokasi menuju Taman Sri Wedari. Tujuan saya tempat
workshop pembuatan panah tradisional milik Eddy Roostopo alias Kung Popop. Saya
ingin mengantar koran yang berisi liputan tentang kiprah Kung Popop di panahan
tradisional.
Setelah berjalan sekitar 15 menit saya tiba di lokasi dan
mencarinya sangat mudah. Kung Popo terkenal di wilayah Sri Wedari. Saya pun
disambut Kung Popop dan Mas Hafidz (anak Kung Popop). Saya lalu diajak ke
tempat latihan panahan tradisional yang biasa dipakai Semut Ireng Pop Archery
Solo (SIPAS). Sambutan kekeluargaan saya rasakan. Sebagai sesama pemanah
tradisional, kami saling menghormati karena semuanya saudara. Teknik memanah
saya diperbaiki agar hasilnya lebih marem. Hasilnya, satu anak panah saya
berhasil menancap di bandulan. Yes……. Dari
lapangan panahan, saya balik ke hotel naik Go-Jek. Bayar Rp 5000 sudah sampai
hotel.
Malam harinya, saya dan keluarga jalan-jalan ke Paragon
Mall. Kami naik Grab yang ternyata sopirnya merangkap sopir taksi konvensional.
Sopirnya mengaku realistis dengan kondisi sekarang. Kalau ada yang online,
kenapa tidak dicoba. Kalau sudah rezeki pasti ada saja penumpang, bisa via
aplikasi atau lewat panggilan radio.
PENGALAMAN PERTAMA
ATA NAIK KERETA
Berada di Aston Solo membuat kami berkesempatan
bersilaturahmi dengan GM Aston Solo M. Nasir Mattusin, Rabu 27 September 2017
pagi. Beliau bercerita tentang pengalaman bekerja di hotel dengan latar
belakang pendidikan guru agama Islam. Kami pun ngobrol ibaratnya keluarga yang
sudah lama tak bertemu. Hasil obrolan kami bisa dicek di naskah lain dari blog
ini.
Siangnya, kami pamit menuju Jogjakarta. Dari hotel kami ke
Stasiun Purwosari naik Grab dengan ongkos Rp 10.000. Stasiun ini lebih dekat disbanding
Stasiun Balapan. Setelah membaca petunjuk dan bertanya pada petugas, kami
langsung membeli tiket Kereta Prameks tujuan Solo-Jogja. Harganya Rp 8000 per
orang. Wow…lebih murah dari ongkos naik Grab. Prameks itu singkatan dari
Prambanan Ekspress, kereta yang melayani Solo-Jogja bolak-balik, tiap 2 jam,
dari pagi sampe sore.
Prameks di Stasiun Purwosari |
Naik kereta merupakan pengalaman pertama bagi Ata. Ini juga
menjadi pengalaman pertamanya berkunjung ke Solo dan Jogja. Saya pernah
menjanjikan untuk mengajak Ata ke Jogja melihat bagaimana Kota Pelajar yang
menjadi tempat tinggal saya dari tahun 1997-2002. Ketika Kereta Prameks datang,
kami bersiap. Berangkat siang ternyata cocok untuk wisatawan seperti kami.
Kalau pagi, dijamin kereta penuh.
Kami bisa memilih tempat duduk di Prameks dengan bebas
karena penumpang sepi. Ata pun senyum-senyum merasakan naik kereta api dengan
harga yang super murah. Awalnya, kami berencana naik travel menuju Jogja,
harganya Rp 35.000 per orang. Namun, biar punya pengalaman baru, naik Prameks.
Baru 5 menit perjalanan, Ata sudah tidur. Saya dan istri
ngobrol sembari melihat-lihat pemandangan. Kalau Ata dan Diah baru pertama kali
naik Prameks, bagi saya ini yang kedua. Waktu kuliah di Jogja, saya pernah menemani
Bang Ucok, teman kos di Jogja ke Solo naik Prameks. Pulangnya, karena malam
hari, kami naik bis kembali ke Jogja.
Dari Purwosari, kami melintasi Stasiun Klaten, Stasiun Maguwo
(dekat Bandara Adi Soetjipto, Yogyakarta), Stasiun Lempuyangan, dan berhenti di
Stasiun Tugu. Waktu yang kami tempuh kurang dari satu jam. Kalau naik travel
atau bis, bisa lebih lama lagi. Tiba di di Stasiun Tugu, kami disambut hujan.
Alam merestui perjalanan napak tilas ini.
Tiket Prameks |
Stasiun Tugu ternyata ketat untuk taksi online. Ada radius
tertentu yang bebas dari taksi online. Kami harus jalan keluar stasiun untuk
menemukan Grab. Walau agak basah, kami akhirnya menemukan Grab. Tujuan kami ke
Grand Aston Yogyakarta Hotel yang terletak di tengah kota. Orang Jogja menyebut
jalan ini sebagai Jalan Solo. Mas Sankar Adityas, Marcomm Manager Grand Aston
Yogyakarta sedang media visit. Kami pun menitipkan tas di counter luggage dan
jalan-jalan ke Ambarukmo Plaza (Amplaz).
Usai jalan-jalan dan makan siang, kami berkunjung ke kos
yang berada di depan Amplaz. Saya tinggal di kos yang beralamat di Jalan
Nogopuro no 6 C itu dari tahun 1997 (pertama kali ke Jogja) hingga 2002 (tamat
kuliah). Kami disambut Bapak dan Ibu Kos beserta anak dan cucunya. Cerita
nostalgia masa kuliah pun mengalir. Hal yang tak saya lupakan adalah mengajak
anak dan istri berfoto di depan kamar kos. Kamarnya ternyata masih utuh. Begitu
foto saya uplod ke facebook dan menautkan ke teman-teman kos, mereka pun ikut
terkenang masa-masa di Jogja.
KAMAR SPESIAL UNTUK 11th
WDA
Napak tilas ke kos usai, kami melanjutkan perjalanan ke
hotel. Pilihan moda transportasinya Trans Jogja. Ini pertama kali kami naik bus
trans. Padahal di Denpasar ada Trans Sarbagita dan kami belum pernah naik
wkwkwkwk…..
Halte Trans Jogja ternyata lewat agak jauh dari Hotel Grand
Aston. Karena gerimis, kami naik becak. Ini jadi pengalaman pertama lagi bagi
Ata untuk naik becak. Abang becak mengayuh becak dengan melawan arus. Kami
agak-agak khawatir. Akhirnya kami tiba dengan selamat di hotel.
Naik Becak |
Mas Sankar ternyata sudah menunggu kami. Setelah ngobrol di
lobi, kami diajak keliling hotel untuk dijadikan bahan review. Ternyata hotel
bintang lima ini memiliki fasilitas yang lengkap termasuk view yang mengarah ke
Gunung Merapi. Satu hal yang spesial disiapkan Mas Sankar dan tim Grand
Aston Yogyakarta adalah kamar untuk kami yang didesain untuk ulang tahun
pernikahan kami. 27 September 2017 merupakan our 11th Wedding Day Anniversary.
Terima kasih Grand Aston Yogyakarta Hotel.
Malam hari, hujan masih mengguyur Kota Gudeg. Kami pesan
Grab lagi untuk makan malam. Pilihannya Gudeg Yu Djum. Saat mau bayar, sopir
Grab tidak punya kembalian. Ia pun meminta saya untuk membelikan pulsa. Baru
kali ini ada sopir Grab yang percaya sama penumpangnya. Saya pun membelikan
pulsa sesuai dengan kesepakatan harga. Sebuah win-win solution.
Setelah puas menikmati gudeg, kami pesan Grab lagi menuju
Malioboro. Hujan membuat jalanan agak macet. Kami turun di depan Malioboro Mall
dan berjalan kaki sepanjang emperan toko yang menjual berbagai souvenir. Ata
menyempatkan diri untuk memilih souvenir yang dijadikan oleh-oleh untuk guru
dan teman-temannya. Karena hujan, kami tidak bisa jalan sampai Alun-alun. Saat
tiba di Hamzah Batik (dulu Mirota Batik), toko sudah hampir tutup. Kami hanya
melihat-lihat sebentar lalu bergegas keluar dan memesan Grab lagi untuk kembali
ke hotel.
Kamis, 28 September 2017 pagi, kami mulai lagi perjalanan.
Tujuan pertama Pasar Beringharjo. Setelah mendapatkan beberapa oleh-oleh, kami
jalan kaki ke Taman Pintar. Puas mendapatkan pengetahuan di bekas areal
Shopping Center, kami ke Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Kami pilih naik
becak motor biar lebih praktis.
Di Keraton, kami jalan-jalan sambil berfoto. Pengunjung agak
sepi karena bukan musim liburan. Ini juga membuat kami lebih senang berlibur
saat bukan musim liburan. Jalanan tidak macet dan bisa maksimal menikmati objek
wisata. Konsekuensinya, saya dan istri harus cuti dan anak harus izin he..he….
Dari Keraton, kami mencoba naik andong untuk keliling
sekalian mencari bakpia. Ternyata harga yang ditawarkan Rp 75.000. Kami tawar
Rp 25.000 ditolak. Akhirnya, pilihan kembali ke Grab. Serba praktis, mau kemana
saja dan harga terjangkau.
Perjalanan di Jogja usai karena siangnya kami balik ke Solo.
Niat untuk naik Prameks pukul 12.00 gagal karena begitu sampai Stasiun Tugu,
kereta akan segera berangkat. Kami pun memilih Prameks yang berangkat pukul
14.00. Waktu luang di stasiun, kami manfaatkan untuk makan siang dan istirahat.
Kereta Prameks dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Balapan
masih kosong. Kami pun bebas lagi memilih kursi. Tapi, di Stasiun Lempunyangan,
penumpang mulai ramai, bahkan ada yang harus berdri. Demikian juga tambahan
penumpang dari Stasiun Maguwo. Dari Stasiun Klaten hingga Stasiun Purwosari,
kepadatan mulai berkurang. Kami pun turun di Purwosari disambut gerimis.
Ata menikmati suasana naik Prameks |
Taksi online yang kami pesan berada di luar stasiun dan kami
pun harus jalan memutar untuk menemukannya. Dari stasiun kami menuju Hotel The Alana
Solo yang lokasinya berada di wilayah Karanganyar. Saya sempat janjian dengan
Deni, adik kelas di Jogja untuk bertemu di Solo. Ia pun menyarankan untuk
bertemu di Ria Batik, salah satu toko yang menjual batik.
Sambil memilih-memilih batik, Deni dan keluarganya menemai
kami. Tak lupa foto untuk dipamerkan ke teman lain. Pulangnya, kami ditraktir
nasi liwet Wongso Lemu dan Markobar. Kami kaget, Markobar milik anak Presiden Jokowi ternyata gerai martabak manis yang berada di trotoar. Beda dengan
di Bali, yang menggunakan kontainer. Terima kasih traktirannya ya Den.
Jumat, 29 September 2017, usai sarapan, kami bertemu dengan
Mbak Farida, Corpcomm The Alana Hotel. Kami banyak ngobrol tentang perkembangan
bisnis hotel di Solo dan sekitarnya. Sejak Jokowi jadi presiden, Solo dan menjadi
sekitarnya menjadi “hidup”. Banyak agenda rapat yang dilaksanakan di Solo. Kami
juga sempat bertemu dengan GM The Alana Sistho A. Sreshtho, ST, SHA dan foto
bersama.
Setelah pamitan, kami menuju bandara yang dekat dengan
hotel. Pepatah dunia selebar daun kelor ternyata jadi kenyataan. Kami naik Grab
yang sopirnya dulu kuliah di UNS dan kakak kelas dari sahabat kami, Hari
Purwanto. Di bandara kami juga bertemu Made
Darmawan, ayah dari temannya Ata saat TK. Istri Darmawan ini teman sekelas saya
saat SMA dan teman SD istri saya. Kami sama-sama pulang ke Bali dengan pesawat
AirAsia. Dunia memang kecil tapi punya banyak cerita yang tak pernah habis
dituturkan.
Itulah pengalaman kami liburan sambil bekerja. Bertemu
dengan hal-hal baru. Bertemu dengan orang-orang baru yang seakan sudah lama dikenal.
Semua jadi termudahkan. Inilah sisi indah dunia. Everything …has a meaning.
Cool, happy 11th wedding anniversary Pak Ngurah and Ibu Diah! :)
BalasHapusThank you Dewi for letting us know about Om Budi`s trip to Jogja-Solo. It was lovely to welcomed the "napak tilas" trip. Hoping for another story comes up ya :)
HapusMakasi mbak dewi ya sdh memfasilitasi kami bertemu teman2 baru di solo dan jogja. We are family
HapusMatur nuwun juga buat om sankar for special room. Tak pernah terbayangkan tidur sama bunga mawar love love love. Jogja never ending love
Hapus