Pertiwi memanggilmu. Bertugas di tanah kelahiran
merupakan pengalaman yang berharga bagi Komandan Korem 163/Wirasatya Bali
Kolonel Inf. Nyoman Cantiasa, S.E. Ia pun bisa mengenal lebih dekat daerah
Bali. Sebelumnya, hampir 29 tahun ia merantau di luar Bali. Bagaimana kiprah
Cantiasa di dunia militer dan apa harapannya untuk masyarakat Bali?
Pria kelahiran Buleleng, 26 Juni 1967 ini anak
ketiga pasangan I Nengah Tinggen-Ni Ketut Mari. Ayahnya guru yang juga penekun
sastra Bali. Sejak kecil Cantiasa sering melihat orang berseragam militer
karena rumahnya di Singaraja dekat dengan Polres Buleleng dan Kodim Buleleng.
Ia pun bercita-cita menjadi tentara.
Tamat SMAN 1 Singaraja tahun 1986, ia lolos Akademi
Militer. "Ada tiga hal yang membuat saya memilih dunia militer. Pertama
karena memang cita-cita. Kedua, paman saya (alm. Wayan Sada, anak buah I Gusti
Ngurah Rai) merupakan inspirator. Pada masa perang, tugasnya sebagai tim khusus
I Gusti Ngurah Rai bagian utara yaitu Buleleng tugasnya mematikan, potong
aliran listrik, telepon penjajah yang dipasang zaman perjuangan. Ini adalah
kemampuan langka dan khusus pada masa perang. Ayah banyak bercerita tentang
paman saya ini. Ketiga, lingkungan saya dekat dengan orang-orang berseragam.
Ada kebanggaan jika bisa memakai seragam militer," ungkapnya.
Sang ayah memang merestui ketika Cantiasa berniat
masuk dunia militer. Tetapi, ibunya sempat ragu-ragu. Setelah diberi pemahaman
dan diyakinkan bahwa terjun di dunia militer merupakan tugas mulia, akhirnya
sang ibu merestui.
Cantiasa masuk Akmil tahun 1987 dan lulus tahun
1990. Saat lulus, ia meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa dan Bintang Tri
Sakti Wirautama langsung dari Presiden RI Soeharto. Penghargaan ini diberikan
kepada lulusan terbaik dari masing-masing matra dengan melihat kecakapan
akademik, kepribadian, dan fisik.
"Saya punya prinsip, kalau kita berpikir akan
menang, sebenarnya kita sudah menang. Sebaliknya, kalau kita berpikir akan
kalah, sebenarnya kita sudah kalah. Begitu masuk jadi tentara saya menanamkan
pada diri sendiri akan melakukan yang terbaik dengan giat belajar dan giat
berlatih," tegas saudara kandung I Gede Cantika yang saat ini berdinas di
Polisi Kehutanan, Ni Made Cantiari yang tugas di Pemda Buleleng, Ketut Cantiana
di Dinas Pertanian, dan yang paling bungsu Putu Cantiawan saat ini pilot di salah
satu maskapai penerbangan.
Setelah menyandang pangkat Letnan Dua, Cantiasa
mengawali tugas di Yonif 328 Linud Kostrad. Selanjutnya ia bergabung di satuan
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) selama hampir 20 tahun. Posisi yang pernah
diduduki Komandan Tim Grup Intelijen Sandi Yudha, Komandan Satuan Grup 81
Antiteror Kopassus serta Komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus. Sebelum
menjadi Danrem 163/Wirasatya, pria asal Bubunan, Seririt, Buleleng ini menjabat
Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Magelang. Dari semua penugasan selama
29 tahun itu, ia belum pernah bertugas di Bali.
"Agustus 2015 saya mulai di Bali. Saya
bersyukur bisa tugas di Bali, bisa dekat dengan keluarga besar, dan saya punya
kesempatan untuk menyama braya
mengenal wilayah Bali," ujar pria yang sering bertugas di daerah operasi
seperti Timor-Timur, Irian Jaya, Papua, Aceh, Ambon, dan Pulau Galang serta operasi
di luar negeri saat ada pembajakan kapal Sinar Kudus di Somalia. Cantiasa juga
sering mendapat surat perintah untuk melaksanakan tugas di Asia, Eropa dan
Amerika hampir seluruh negara dia kunjungi saat di Kopassus.
Dari banyak pengalaman di daerah operasi, ia mengaku di Ambon yang paling memberi tantangan karena bertugas di daerah konflik dengan di daerah operasi pertempuran berbeda dimana ada masyarakat kita yang harusa diamankan. Kala itu terjadi konflik horizontal dan ada pihak yang memiliki persenjataan hampir 900 pucuk tersebar di masyarakat dan ini kerawanan terjadi bentrokan dan pasti ada korban. Cantiasa yang menggunakan nama sandi Arjuna 2 menjabat Kasi Ops sektor yang membawahi hampir 9 Batalyon di wilayah Ambon, juga menjadi incaran. Ia bahkan sempat dimaki-maki melalui handytalkie. Kondisi Ambon ia bayangkan seperti pertempuran di Sarajevo karena suara tembakan senapan, bom dll silih berganti baik pagi, siang apalagi pada malam hari. Berkat pendekatan strategi yang ia lakukan bersama tim, akhirnya provokator bisa ditangkap, konflik bisa terselesaikan secara damai sampai saat ini.
Pengalamannya terjun di daerah konflik membuatnya selalu berharap Bali tidak pernah didera konflik. Namun, ia dihadapkan pada kenyataan, di Bali juga ada konflik antar ormas bahkan sampai ada korban jiwa. "Saya prihatin, sedih, dan kecewa dengan apa yang terjadi. Ini ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, apalagi tega-teganya sesama masyarakat Bali yang sama-sama minum dan makan dari tanah di Bali tetapi dampaknya ke masyarakat luas. Wisatawan jadi takut datang dan banyak saudara kita tidak dapat pekerjaaan karena tamu sepi. Pariwisata itu sangat bergantung keamanan, Bali ini tidak terpengaruh pada nilai tukar mata uang dolar. Kalau sudah aman, wisatawan akan datang, rezeki orang Bali akan datang karena security harus bersamaan dengan prosperity atau kesejahteraan. Sebagai Danrem di Bali saya selalu berharap suasana kondusif, aman, dan nyaman masyarakat melaksanakan kegiatan sehari hari" tegas suami Made Ayu Skriptyanti ini.
Kepada ormas yang ada di Bali, Cantiasa mengimbau
jangan merasa ada yang menang dan kalah. Masalah tidak akan selesai kalau masih
ada dendam serahkan semua ini kepada aparat hukum. Pengalaman konflik di berbagai
wilayah merupakan suatu contoh dan pelajaran karena akhirnya semua hanya
penyesalan ibarat nasi sudah jadi bubur. Kita bunuh diri namanya bila situasi
di Bali tidak aman masyarakat kita tidak bisa cari kerja karena tidak ada
wisatawan yang datang. Ia pun mengingatkan mereka untuk mengedepankan ajaran
agama Hindu seperti Tattwam Asi dan Ahimsa. Sesama orang Bali dan orang yang
tinggal di Bali, tidak mengenal dari berbagai suku agama golongan yang penting
tinggal di Bali jangan mudah
terprovokasi dan diadu domba. Kalau sampai ini terjadi, orang lain akan tepuk
tangan. Keamanan bukan hanya tugas tentara atau polisi saja tetapi ini adalah
tugas tanggung jawab bersama. TNI adalah rakyat, bersama rakyat TNI kuat dan
bersama TNI rakyat sejahtera.
KENAIKAN PANGKAT LUAR BIASA
Mengenai pengalaman di daerah operasi, Cantiasa juga
menuturkan operasi pembebasan sandera di Kapal Sinar Kudus yang dibajak
perompak Somalia serta di pedalaman hutan Mapenduma Irian Jaya Keberhasilan
operasi di Irian Jaya tahun 1996 ini membuat Cantiasa memperoleh kenaikan pangkat
luar biasa (KPLB) dari Letnan Satu menjadi Kapten.
Tahun 2006 ia ditunjuk sebagai komandan kontingen RI
di ajang AARM (lomba tembak militer se-ASEAN) di Vietnam. Tantangannya, kalau
gagal, ia dicopot jabatannya. Indonesia sudah 15 kali ikut lomba tidak pernah
menang. Berkat kerja keras tim, mereka bisa meraih juara umum dari 15 trofi,
Indonesia meraih 9 trofi. Negara peserta heran melihat prestasi Indonesia yang luar
biasa kata. "Moto kami saat itu, "impossible make possible".
Saya dan tim pun dipanggil Presiden SBY ke Istana Negara. Tidak semua tentara
bisa menghadap langsung dengan Presiden," ujar Komandan upacara saat
upacara penurunan bendera 17 Agustus 2013 ini di Istana Negara Jakarta.
Sebagai tentara, Cantiasa sudah tahu konsekuensinya.
Waktunya pun ia atur sedemikian rupa. "Sebelum kami menikah, saya sudah
buat MOU dengan istri saya yang berasal dari Tabanan. Saya tanya kepada calon
istri apakah sudah siap menjadi istri tentara. Saya perhatikan sorot matanya
paling dalam, ternyata dia siap,” ujar penerima piala Wira Karya Nugraha dari
Panglima TNI saat pendidikan di Sesko TNI tahun 2014 beberapa waktu yang
lalu.
Setelah punya anak, anak pun diajak diskusi dan
mereka paham tugas bapaknya. “Kalau urusan dinas, saya fokus urusan dinas.
Tetapi, kalau waktu untuk keluarga, saya pun meluangkan waktu untuk anak,
walaupun capeknya kayak apapun karena haknya dia yang punya waktu. Saya ingin
mewarnai, mendidik, dan sharing
dengan anak. Anak adalah investasi yang paling mahal dan luar biasa,” tegasnya.
--Ngurah Budi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar